Gretha Zahar : Ilmuwan dan Tabib yang Mengobati Dengan Media Rokok
Dokter Singapura pun Sempat Menyerah
Kanker adalah penyakit yang mematikan. Biaya mahal dan pengobatan yang menyakitkan, seringkali membuat orang kehilangan harapan. Dokter Greta Zahar dkk mencoba mengembangkan metode pengobatan alternatif yang unik.
KELUARGA Agustinus Imam Istiyanto (61)
kini agak berlega hati. Mereka gembira melihat perkembangan kesehatan
Imam yang menunjukkan tanda-tanda membaik.
Dosen Teknik Industri ITB itu mengikuti terapi balur dan divine
kretek di Rumah Balur yang dikelola Dr Greta Zahar (72) di Jl Otista,
Jakarta Timur, mulai 11 Agustus lalu.
Dosen Unika yang saat ini mengikuti program doktoral di Fakultas Kedokteran Undip itu menilai, kemajuan yang didapat kakaknya tergolong luar biasa dibanding kondisi awal Agustus lalu. ”Namun jalan yang harus ditempuh masih panjang. Harus sabar dan tetap memelihara harapan,” katanya.
Secara sederhana, Saraswati menjelaskan, jika kelebihan radikal bebas itu menghantam DNA, maka yang bersangkutan akan terkena autis. Jika yang diserang adalah protein pengendali jaringan pertumbuhan (P53), maka pengendalian jaringan tak berfungsi, terjadilah kanker.
Larutan divine yang ditemukan oleh Dr Greta Zahar itu dikembangkan bersama Prof Sutiman dengan perspektif nanobiologi. Jika dioleskan ke rokok lalu rokoknya dibakar, asapnya bisa mengatasi penyakit kanker, autis, serta meningkatkan secara optimal kondisi sehat manusia.
Tidak hanya untuk manusia, partikel asap divine kretek ini, dalam penelitian yang sudah dilakukan dan masih terus dikembangkan, juga mampu meningkatkan hasil dan kualitas tanaman-tanaman kedelai, anggrek, serta padi. Tanaman-tanaman itu juga tahan terhadap hama penyakit tanaman.
Menurut Sarjadi, Indonesia kaya berbagai macam tanaman yang berpotensi tinggi masuk ke lingkup pengobatan modern, di antaranya daun tembakau. Namun, diakuinya, riset komprehensif terhadap manfaat daun tembakau terlihat stagnan, akibat citra negatif terhadap daun tembakau sebagai penyebab sakit dan kematian.
”Citra itu terbentuk karena gencarnya pemberitaan tentang bahaya merokok. Sebaliknya tidak ada penelitian atau tulisan ilmiah yang memberitakan bahwa daun tembakau bermanfaat untuk kesehatan, sampai akhirnya muncul temuan divine kretek oleh Dr Greta ini,” kata Sarjadi.
Mungkinkah Dr Greta yang menemukan larutan divine dan metoda penyembuhan penyakit dengan perspektif radikal bebas sebagai sumber utamanya, bisa memperoleh Nobel di bidang sains?
Pertanyaan itu sempat muncul dalam bincang-bincang Suara Merdeka dengan Prof Sutiman dan dr Saraswati beberapa waktu lalu. Ahli biologi molekuler itu dengan tenang mengatakan, hal itu bukan mustahil, karena temuan yang dihasilkan Greta tergolong luar biasa.
”Tapi kita tahu tidak mudah mendapatkannya. Belum ada orang Asia yang mendapatkan Nobel di bidang sains, baru di bidang perdamaian dan sastra. Jalan yang harus ditempuh untuk Nobel panjang sekali. Antara lain, temuan-temuan ini bisa masuk dalam publikasi internasional. Tidak mudah menembus sindikasi yang dikuasai orang-orang Amerika dan Eropa,” katanya.
Nobel penting, kata Prof Sutiman. Tetapi yang lebih penting adalah mengungkapkan latar belakang sains di balik berbagai obat-obatan dan pengobatan tradisional yang turun temurun dilakukan masyarakat, misalnya jamu.
”Kami memulai dengan riset di kretek, yang merupakan salah satu temuan dan aset penting dari bangsa kita. Senang sekali jika kemudian juga bisa mengungkap lainnya.î
Terapi dengan asap (rokok) kretek ini memang kontroversial. Pastilah banyak ”musuh”-nya, karena selama ini rokok dicitrakan sebagai sumber penyakit. Tetapi semuanya bisa dijelaskan secara saintis.
Pendekatan sains medis modern memang cenderung reduksionistis. Banyak simplifikasi dan asumsi yang menyertainya. Termasuk ketika melihat rokok, yang dianggap sangat berbahaya karena punya kandungan nikotin dan tar yang bersifat karsinogen (pemicu kanker).
Dengan cara pandang ini, kretek dinilai lebih berbahaya dibanding rokok filter, lalu kretek filter lebih berbahaya dibanding rokok putih.
Faktanya, menurut Sutiman, ada 11.000 zat di dalam rokok yang saling terikat dan saling menetralisir. Memang, kalau nikotin dan tar itu berdiri sendiri, mereka bersifat karsinogen, sama seperti asap kendaraan bermotor atau asap bakaran sate. Tetapi jika terikat dengan lainnya, mereka menjadi netral.
Alumnus Universitas Nagoya Jepang itu menganalogikan, setiap inci persegi kulit manusia mengadung 32 juta bakteri. Tentu mengerikan jika membayangkan seluruh bakteri ini bisa menjadi sumber penyakit. Faktanya, sebagian besar jasad-jasad renik itu justru penting untuk daya tahan hidup kita.
Fisika Kuantum
Perkembangan sains yang radikal telah menghadirkan fisika kuantum. Jika dengan fisika Newton, kita hanya mengenal komponen atom-atom yang besar, yang tunduk pada hukum gravitasi, maka dengan fisika kuantum kita dituntun untuk melihat unsur-unsur supermikro, yaitu nano.
Dalam dua dimensi, nanometer seukuran dengan sepersemilyar meter atau sepuluh pangkat minus sembilan meter. Mikroskop elektron termodern hanya bisa melihat ukuran 100 nanometer. ”Ukuran nano hanya bisa diimajinasikan. Misalnya DNA,” katanya.
Dengan pendekatan fisika kuantum ini, lanjut Sutiman, kita bisa melihat bahwa asap rokok adalah kumpulan partikel-partikel, ada yang besar dan punya potensi karsinogen jika tak terikat komponen lain, ada juga yang sangat renik yang ternyata sangat bermanfaat bagi kehidupan.
Dengan cara pandang fisika kuantum itu sangatlah mungkin dihasilkan divine kretek yang bermanfaat bagi kehidupan. Pada prinsipnya divine kretek adalah konversi dari kretek biasa menjadi asap divine yang mengandung struktur nano yang kompleks yang dapat memasok elektron dalam ukuran mililevel volt.
”Dalam ukuran nano, yang terjadi adalah medan gaya listrik. Asap divine bisa berfungsi suplai energi, sekaligus menangkap radikal bebas Hg yang menjadi sumber penyakit,” kata Sutiman. Sutiman, yang bukan perokok, saat ini pun turut mengisap divine rokok, sama seperti istrinya yang menjadikan divine rokok bagian dari terapinya.
”Asap divine rokok mensuplai energi lebih efisien dibanding makanan,” tuturnya
"Alam sudah menyediakan semuanya", kata Profesor Dr. Sutiman Bambang Sumitro, seorang mikrobiolog dari Universitas Brawijaya Malang yang menjadi mitra kerja bu Gretha. "Orang cenderung mempercayai peralatan canggih, padahal peralatan itu bisa jadi digunakan untuk menutupi konsep yang tidak canggih. Sedangkan Alam selama ini bekerja berdasarkan konsep yang canggih. Telur, garam, bawang, kopi, tembakau dan sebagainya itu semua merupakan peluruh radikal bebas yang luar biasa", tambahnya.

Mengobrol
sebentar dengan Ibu Gretha yang begitu penuh semangat dan sangat
enerjik di usianya yang telah berkepala tujuh, beliau menjelaskan kepada
saya mengenai visinya untuk memandirikan bangsa melalui pengobatan
tradisional dan berdasarkan pada beragam tanaman serta kekayaan alam
Nusantara. Tidak hanya itu, pemahamannya mengenai alam semesta juga
melampaui ilmu fisika dan metafisika, bahkan Spiritual Science. Tetapi,
saya tidak ambil pusing dengan penjelasan ilmiah mengenai gold nicotine
dalam Divine Cigarette ataupun proses peluruhan radikal bebas dalam
tubuh melalui Balur, karena siapa pun yang datang menemui Ibu Gretha
memiliki tujuan yang sama: sehat!

Pada Oktober 2010, Imam Istiyanto diketahui menderita kanker jenis
Merkel Cell Carcinoma yang dikenal ganas. Upaya pengobatan kemoterapi
dilakukannya hingga ke Singapura. Namun dokter di negeri jiran itu
menyerah. Keluarga Imam tak mau berhenti mencoba. Pengobatan pun
dilanjutkan ke China. Ternyata di Negeri Tirai Bambu itu, juga tidak
muncul harapan.
”Pulang dari China akhir Juli lalu, kondisinya menyedihkan. Kakak
saya nggak bisa menelan makanan karena mulutnya penuh sariawan. Dia
harus diinfus. Levernya bengkak karena bekerja keras menetralisasi
kemoterapi. Tubuhnya sangat lemah. Dia sudah benar-benar pasrah,” kata
Christiana Retnaningsih, adiknya, yang dosen Unika Soegijapranata itu.
Pada 22 Juli 2011, Retnaningsih mengikuti bincang-bincang Redaksi
Suara Merdeka dengan Prof Dr Sutiman B Sumitro, ahli biologi molekuler
dari Universitas Brawijaya Malang tentang terapi asap kretek (dinamai
divine kretek) dan balur untuk penyembuhan kanker.
Terapi ini ditemukan dan dikembangkan oleh Dr Greta Zahar, ahli
fisika nuklir lulusan Jerman. Dalam forum itu, Prof Sutiman memberikan
latar belakang sainsnya dari terapi balur dan asap divine kretek
tersebut.
Banyak orang yang telah terselamatkan dengan metoda tersebut.
Termasuk istri Prof Sutiman, Tintrim Rahayu, yang terkena kanker
payudara stadium tinggi dan dua kali operasi.
Orang penting lain yang tersembuhkan adalah dr Subagyo, ketua Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) Malang. Istri Subagyo, yaitu dokter Saraswati,
kini satu tim dengan Prof Sutiman dan Dr Greta mengembangkan terapi
balur dan divine kretek untuk mengatasi kanker dan berbagai penyakit
lainnya.
Retnaningsih merasa beruntung bisa ikut forum di Suara Merdeka. Dari
acara itu, dia pun mendapat undangan untuk ikut seminar hari berikutnya,
di mana Prof Sutiman dan dr Saraswati tampil di forum yang diikuti
banyak dokter dan ahli.
”Saya beruntung sekali karena di forum itu saya bisa berdekatan
dengan Ibu Tintrim Rahayu sehingga bisa menggali cerita penderitaannya
dan kesembuhannya,” kata Retnaningsih.
Cerita, pengetahuan baru, dan bahan-bahan seminar yang dia dapat itu
dikirimkan ke kakaknya di Bandung. Dia merasa senang kakaknya akhirnya
mengikuti terapi di rumah balur Dr Greta.
”Pada hari kelima terapi, kondisi kakak saya sudah agak membaik.
Perutnya mengecil. Dia sudah bisa jalan agak lama dan menikmati makanan
kesukaannya, soto. Sikapnya lebih optimistik dan rasa humornya sudah
mulai muncul,’’ aku Retnaningsih.
”Kemarin dia cerita ikut bersih-bersih kamarnya untuk menghilangkan
kejenuhan, tapi sambat masih gampang lelah,” kata Retnaningsih,
Dosen Unika yang saat ini mengikuti program doktoral di Fakultas Kedokteran Undip itu menilai, kemajuan yang didapat kakaknya tergolong luar biasa dibanding kondisi awal Agustus lalu. ”Namun jalan yang harus ditempuh masih panjang. Harus sabar dan tetap memelihara harapan,” katanya.
Terapi untuk penyembuhan kanker yang dilakukan di rumah balur itu
mengombinasikan tiga cara, yakni balur, asupan asap divine kretek, dan
asupan asam amino. Fungsinya untuk meluruhkan dan mengeluarkan radikal
bebas, yang menjadi sumber penyakit, dari dalam tubuh penderita,
”Jika penyebabnya sudah bisa diatasi, kita percaya sistem tubuh
pemberian Tuhan yang sangat kompleks ini akan melakukan recovery dengan
sendirinya,” kata Prof Sutiman.
Menurut Ketua Lembaga Peluruhan Radikal Bebas Malang dr Saraswati,
radikal bebas adalah senyawa kimia aktif dalam fase gas dan bermuatan
listrik. Jika jumlahnya terkendali, ia bermanfaat untuk menjalankan
proses kehidupan.
Sebaliknya, jika dalam keadaan berlebihan, radikal bebas dapat
mengganggu dan menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, diabetes,
autis, rematik, alergi, dan sebagainya.
Kelebihan radikal bebas itu bisa terjadi, lanjut dr Saraswati, karena
proses penuaan, infeksi penyakit, makanan yang kurang seimbang (banyak
karbohidrat dan lemak), menghirup udara yang tercemar, mengonsumsi
makanan yang terkontaminasi radiasi, serta kemoterapi.
Paling Berbahaya
Secara sederhana, Saraswati menjelaskan, jika kelebihan radikal bebas itu menghantam DNA, maka yang bersangkutan akan terkena autis. Jika yang diserang adalah protein pengendali jaringan pertumbuhan (P53), maka pengendalian jaringan tak berfungsi, terjadilah kanker.
Dan, ketika yang terkena radikal bebas adalah virus, maka virus itu menjadi lebih ganas karena mengalami mutasi genetik.
Di antara radikal bebas itu, Mercuri (Hg) tergolong yang paling
berbahaya. Hg dapat dengan mudah memproduksi elektron ke dalam bentuk
yang sangat reaktif. Kelebihan Hg radikal bebas akan menyebabkan kanker,
autis, shizoprenia, dan berbagai penyakit kelainan genetik.
Menurut Yoshiaki Omura, peneliti dari Jepang, semua sel kanker mengandung Hg di dalamnya.
Dengan latar belakang seperti itu, maka untuk terapi kanker dan
penyakit lainnya adalah menetralkan radikal bebas di dalam tubuh
manusia, atau mengeluarkannya dengan detoksifikasi.
”Pada prinsipnya, terapi balur, memasukkan asap divine kretek serta asam amino adalah juga detoksifikasi,” kata dr Saraswati.
Asam amino berfungsi melarutkan zat radikal bebas dan membuatnya
floating. Sedangkan terapi balur membuat radikal bebas yang floating itu
keluar dari tubuh manusia.
Dalam praktik, pembaluran dilakukan di atas lempeng tembaga, karena
pada prinsipnya radikal bebas mengandung muatan listrik. Maka, dengan
tidur di lempeng tembaga (Cu) yang dibumikan (grounding), proses
pengeluaran radikal bebas itu lebih mudah.
”Zat-zat radikal bebas yang keluar dari tubuh itu akan tampak bercak-bercaknya di lempeng tembaga,” kata Saraswati.
Sejak metoda ini dikembangkan awal tahun 2000-an hingga saat ini,
ribuan orang sudah mencobanya untuk berbagai kondisi sakit. Mereka bukan
pasien, melainkan relawan, karena mereka merupakan bagian dari
penembangan penelitian .
Saat ini Griya Balur tidak hanya di Jakarta, melainkan juga di
Malang, Jogja dan juga Semarang yang baru dibuka Juli 2011 lalu. Tidak
lama lagi, di Kudus juga akan dibuka. (Anto Prabowo -43)
TEKNOLOGI NANO PADA ROKOK HERBAL
Mungkinkah Penemunya Mendapatkan Nobel?
”PENEMUAN larutan divine merupakan mahakarya dalam ilmu pengetahuan yang bisa menjadi tonggak peningkatan kesehatan berdasarkan kearifan lokal,” kata Guru Besar Bagian Patologi Anatomi FK Undip, Prof Dr Sarjadi SpPA (K) dalam keterangan pers yang dikirim ke berbagai media, Juni lalu.Larutan divine yang ditemukan oleh Dr Greta Zahar itu dikembangkan bersama Prof Sutiman dengan perspektif nanobiologi. Jika dioleskan ke rokok lalu rokoknya dibakar, asapnya bisa mengatasi penyakit kanker, autis, serta meningkatkan secara optimal kondisi sehat manusia.
Tidak hanya untuk manusia, partikel asap divine kretek ini, dalam penelitian yang sudah dilakukan dan masih terus dikembangkan, juga mampu meningkatkan hasil dan kualitas tanaman-tanaman kedelai, anggrek, serta padi. Tanaman-tanaman itu juga tahan terhadap hama penyakit tanaman.
Menurut Sarjadi, Indonesia kaya berbagai macam tanaman yang berpotensi tinggi masuk ke lingkup pengobatan modern, di antaranya daun tembakau. Namun, diakuinya, riset komprehensif terhadap manfaat daun tembakau terlihat stagnan, akibat citra negatif terhadap daun tembakau sebagai penyebab sakit dan kematian.
”Citra itu terbentuk karena gencarnya pemberitaan tentang bahaya merokok. Sebaliknya tidak ada penelitian atau tulisan ilmiah yang memberitakan bahwa daun tembakau bermanfaat untuk kesehatan, sampai akhirnya muncul temuan divine kretek oleh Dr Greta ini,” kata Sarjadi.
Mungkinkah Dr Greta yang menemukan larutan divine dan metoda penyembuhan penyakit dengan perspektif radikal bebas sebagai sumber utamanya, bisa memperoleh Nobel di bidang sains?
Pertanyaan itu sempat muncul dalam bincang-bincang Suara Merdeka dengan Prof Sutiman dan dr Saraswati beberapa waktu lalu. Ahli biologi molekuler itu dengan tenang mengatakan, hal itu bukan mustahil, karena temuan yang dihasilkan Greta tergolong luar biasa.
”Tapi kita tahu tidak mudah mendapatkannya. Belum ada orang Asia yang mendapatkan Nobel di bidang sains, baru di bidang perdamaian dan sastra. Jalan yang harus ditempuh untuk Nobel panjang sekali. Antara lain, temuan-temuan ini bisa masuk dalam publikasi internasional. Tidak mudah menembus sindikasi yang dikuasai orang-orang Amerika dan Eropa,” katanya.
Nobel penting, kata Prof Sutiman. Tetapi yang lebih penting adalah mengungkapkan latar belakang sains di balik berbagai obat-obatan dan pengobatan tradisional yang turun temurun dilakukan masyarakat, misalnya jamu.
”Kami memulai dengan riset di kretek, yang merupakan salah satu temuan dan aset penting dari bangsa kita. Senang sekali jika kemudian juga bisa mengungkap lainnya.î
Terapi dengan asap (rokok) kretek ini memang kontroversial. Pastilah banyak ”musuh”-nya, karena selama ini rokok dicitrakan sebagai sumber penyakit. Tetapi semuanya bisa dijelaskan secara saintis.
Pendekatan sains medis modern memang cenderung reduksionistis. Banyak simplifikasi dan asumsi yang menyertainya. Termasuk ketika melihat rokok, yang dianggap sangat berbahaya karena punya kandungan nikotin dan tar yang bersifat karsinogen (pemicu kanker).
Dengan cara pandang ini, kretek dinilai lebih berbahaya dibanding rokok filter, lalu kretek filter lebih berbahaya dibanding rokok putih.
Faktanya, menurut Sutiman, ada 11.000 zat di dalam rokok yang saling terikat dan saling menetralisir. Memang, kalau nikotin dan tar itu berdiri sendiri, mereka bersifat karsinogen, sama seperti asap kendaraan bermotor atau asap bakaran sate. Tetapi jika terikat dengan lainnya, mereka menjadi netral.
Alumnus Universitas Nagoya Jepang itu menganalogikan, setiap inci persegi kulit manusia mengadung 32 juta bakteri. Tentu mengerikan jika membayangkan seluruh bakteri ini bisa menjadi sumber penyakit. Faktanya, sebagian besar jasad-jasad renik itu justru penting untuk daya tahan hidup kita.
Fisika Kuantum
Perkembangan sains yang radikal telah menghadirkan fisika kuantum. Jika dengan fisika Newton, kita hanya mengenal komponen atom-atom yang besar, yang tunduk pada hukum gravitasi, maka dengan fisika kuantum kita dituntun untuk melihat unsur-unsur supermikro, yaitu nano.
Dalam dua dimensi, nanometer seukuran dengan sepersemilyar meter atau sepuluh pangkat minus sembilan meter. Mikroskop elektron termodern hanya bisa melihat ukuran 100 nanometer. ”Ukuran nano hanya bisa diimajinasikan. Misalnya DNA,” katanya.
Dengan pendekatan fisika kuantum ini, lanjut Sutiman, kita bisa melihat bahwa asap rokok adalah kumpulan partikel-partikel, ada yang besar dan punya potensi karsinogen jika tak terikat komponen lain, ada juga yang sangat renik yang ternyata sangat bermanfaat bagi kehidupan.
Dengan cara pandang fisika kuantum itu sangatlah mungkin dihasilkan divine kretek yang bermanfaat bagi kehidupan. Pada prinsipnya divine kretek adalah konversi dari kretek biasa menjadi asap divine yang mengandung struktur nano yang kompleks yang dapat memasok elektron dalam ukuran mililevel volt.
”Dalam ukuran nano, yang terjadi adalah medan gaya listrik. Asap divine bisa berfungsi suplai energi, sekaligus menangkap radikal bebas Hg yang menjadi sumber penyakit,” kata Sutiman. Sutiman, yang bukan perokok, saat ini pun turut mengisap divine rokok, sama seperti istrinya yang menjadikan divine rokok bagian dari terapinya.
”Asap divine rokok mensuplai energi lebih efisien dibanding makanan,” tuturnya
Balur Divine sebagai Paradigma Baru Pengobatan
Tidak mudah memahami penjelasan bu Gretha. Fisika modern, kimia nuklir, ditambah dengan nanoteknologi, ketika disatukan dalam uraian, menjadi menu yang lumayan berat untuk dicerna. Namun ternyata dalam praktek semuanya sangat sederhana. Obat segala penyakit itu ternyata ada di dapur kita sendiri: ada telur, kopi, garam, bawang, air kelapa, fermipan … Hanya satu obat yang tidak biasa: rokok! Rokok terapi ini diramu secara khusus, asapnya ditiupkan ke lubang telinga, hidung, dan mulut pasien melalui sebuah pipa. Pasien dibaringkan di atas papan tembaga, dibalur dengan 7 macam ramuan, sementara terapi asap dilakukan di sela-sela proses tersebut. Sungguh aneh melihat sebuah penemuan canggih dipraktekkan dengan begitu mudah dan sederhana, sesederhana pengobatan ala kampung jaman baheula.
"Alam sudah menyediakan semuanya", kata Profesor Dr. Sutiman Bambang Sumitro, seorang mikrobiolog dari Universitas Brawijaya Malang yang menjadi mitra kerja bu Gretha. "Orang cenderung mempercayai peralatan canggih, padahal peralatan itu bisa jadi digunakan untuk menutupi konsep yang tidak canggih. Sedangkan Alam selama ini bekerja berdasarkan konsep yang canggih. Telur, garam, bawang, kopi, tembakau dan sebagainya itu semua merupakan peluruh radikal bebas yang luar biasa", tambahnya.
Mengapa telur mentah? "Karena telur mentah merupakan protein hidup.
Telur mentah itu internally driven. Putihnya menangkap radikal bebas
dalam tubuh kita, termasuk merkuri yang juga internally driven.
Sedangkan merah telur mengandung bahan stem cell", kata bu Gretha.
"Tidak perlu takut pada bakteri salmonela atau virus yang mungkin ada
pada telur mentah", kata bu Gretha seolah membaca pikiran saya. "Karena
dalam kopi ada karbon yang berfungsi seperti norit yang melumpuhkan
racun."
Tidak perlu takut pada bakteri dan virus? Sungguh menyenangkan
membayangkan dunia yang sedang disiapkan oleh bu Gretha dan kawan-kawan
ini ! "Bakteri dan virus, semua itu hanyalah protein hidup yang
mengalami mutagenik. Mereka menamainya bakteri, jika ukurannya 10
pangkat minus 5. Tapi ketika ukurannya nano, mereka menamainya virus",
kata bu Gretha sambil mempermainkan rokoknya. "Yang lebih penting untuk
diselidiki adalah penyebab mutagenik protein tersebut, yaitu radikal
bebas, terutama merkuri. Merkuri mempunyai 13 macam panjang gelombang
yang bisa digunakan untuk mengacaukan dan menyesatkan codon dalam
pembentukan protein (codon adalah kode genetik yang menentukan sintesa
protein, Red.) Merkuri dalam tubuh akan menarik lebih banyak merkuri.
Hebatnya, merkuri punya energi dinamika yang cukup besar untuk membantunya melakukan transisi elektron, sebuah cara baginya untuk ‘menyamar’ menjadi partikel lain", katanya sambil meluruskan kakinya di lantai. Sekarang menjadi jelas mengapa selama ini berbagai penelitian belum bisa ‘menangkap basah’ merkuri dan perilakunya di tubuh kita. "Merkuri hanya perlu tambahan 1 elektron untuk menjadi logam berat seperti thalium, atau 2 ekstra elektron untuk menjadi timbal. Padahal elektron-elektron itu tersedia dalam jumlah besar di Alam sebagai akibat dari melimpahnya jumlah radikal bebas ", tambahnya lagi.
"Jadi penyembuhan segala macam penyakit pada dasarnya hanyalah memperbaiki kemampuan tubuh dalam mengendalikan polutan. Detoksifikasi adalah yang paling relevan. Jika kita tahu caranya, tak ada penyakit yang perlu ditakuti, termasuk flu burung, flu babi dan sebagainya", kata bu Gretha. Ia lalu memamerkan foto-foto klinis dan eksperimennya yang sangat menakjubkan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Kanker dan autisme merupakan persoalan sederhana di matanya, apalagi penyakit stroke, jantung dan sebagainya.
Bu Gretha dan klinik-kliniknya telah membantu ratusan orang yang sudah tidak bisa ditangani oleh rumah sakit. Namun gaya hidupnya sangat bersahaja. Tempat duduk favoritnya adalah lantai, kosmetiknya hanyalah ramuan yang terbuat dari putih telur dan air kelapa. Tanda-tanda kemewahan ‘hanya’ terlihat pada matanya yang selalu polos namun energik, tubuh yang elastis, berotot, bugar, serta kulit wajah yang bersih. Tidurnya sedikit, namun ia masih mampu push-up 25 kali dan berenang 90 menit tanpa jeda di usianya yang menjelang 70. (Kami sering menggodanya dengan sebutan ‘nenek-nenek aneh’, karena bukannya membekali diri dengan minyak angin dan syal penghangat seperti nenek pada umumnya, ia malah membawa rokok dan berbagai ramuan kemana-mana untuk mengurus siapapun yang dijumpainya di jalan dan sedang bermasalah ! J)
Restless and fearless, itulah yang saya lihat pada bu Gretha. Dalam pencariannya yang tak kenal menyerah, ia sempat mengalami berbagai hinaan dan pengusiran oleh ilmuwan-ilmuwan lain. Namun dengan gigih ia terus berjuang, salah satunya dengan mencoba membuktikan hipotesanya lewat pengabdian di sebuah rumah sakit swasta dan beberapa panti asuhan. Dukungan dari kalangan universitas dan dari kalangan medis akhirnya mengalir. Tapi ia belum puas juga. "Alam sedang sedih karena banyak dimanipulasi oleh manusia", katanya suatu hari, dengan nada sedih yang tak berhasil disembunyikan. "Kita mengambil terlalu banyak dari Alam, ini menyulitkan Alam dalam melakukan recycling terhadap beratus-ratus ton radikal bebas yang berkeliaran di sekitar kita.
Sementara itu hutan dan lautan yang menjadi mesin pendaur-ulang utama itu mengalami kerusakan yang amat parah," katanya lagi. Pak Sutiman lalu menambahkan: "Alam sekarang mengalami kesulitan dalam melakukan siklus berbagai material. Manusia sebagai bagian dari Alam pun mengalaminya." Lalu, setelah menyalakan rokok yang entah ke sekian, pak Sutiman -yang sebelumnya sama sekali bukan perokok itu- melanjutkan:"Kerusakan Alam kini menempatkan manusia pada posisi degeneratif, artinya manusia menghadapi ancaman kegagalan dalam menjalankan kemampuan normal. Itu sebabnya penyakit manusia bergeser ke arah difficult diseases."
Tapi bu Gretha tidak pernah membiarkan dirinya sedih berlama-lama. Intuisinya yang liar dan tajam membuatnya segera sibuk memikirkan gagasan-gagasan baru. Alur pikirannya melompat-lompat dengan lincah, tak banyak orang yang memiliki kemampuan untuk mengimbanginya. Ketika pak Sutiman pada suatu kesempatan resmi menguraikan pemikiran bu Gretha dalam bahasa yang lebih runut, bu Gretha tercengang-cengang sendiri: "Benarkah itu hasil pemikiranku? Aku tidak mengira akan seindah itu…", katanya dengan ekspresi yang lucu.
Keindahan itu juga terlihat dalam proses pengobatan ala bu Gretha. Sebelumnya, dalam sebuah eksperimen, bu Gretha mencoba melepaskan radikal bebas dari sebuah protein buatan. Radikal bebas itu baru terlepas sesudah dihantam dengan beban sebesar … 8 ton ! Namun ketika protein yang mengandung radikal bebas itu ditepuknya dengan ‘mengaktifkan rasa kasih-sayang’, radikal bebas itupun terlepas. Artinya, beban 8 ton itu kurang lebih setara dengan tepukan penuh kasih-sayang ! Itu sebabnya pelayanan penuh kasih-sayang menjadi bagian yang paling penting dalam terapi yang dikembangkannya.
Itu sebabnya pula, di papan tembaga, pasien anak-anak dibaringkan di atas tubuh ayah atau ibunya, agar terjadi ikatan batin yang lebih dalam di antara keduanya. Ikatan kasih-sayang ini sangat berguna untuk mendorong kesembuhan. Dalam klinik-klinik asuhan bu Gretha dan kawan-kawan selalu ditekankan pentingnya partisipasi keluarga dalam proses penyembuhan. Kesembuhan seorang pasien dipengaruhi oleh kesehatan anggota keluarganya. "Bahkan menyehatkan diri sendiri itu sama dengan menyehatkan lingkungan", demikian kata pak Sutiman.
Keindahan yang lain juga diperlihatkan di akhir terapi. Berbagai ramuan yang sudah dibalurkan ke tubuh pasien itu ditampung, sebagian dibiarkan tersisa di papan tembaga, sebagian diteteskan pada cawan petri. Hasilnya sungguh menakjubkan! Hanya beberapa menit dijemur di bawah matahari, kita akan segera melihat kristal yang bisa mengisahkan ’siapa kita’. Jika Anda sehat, pada papan tembaga maupun cawan petri itu akan terlihat lukisan kristal yang penuh, simetris, fraktal, dan memiliki pola yang sangat indah. "Tubuh manusia itu merupakan pabrik nano material yang paling hebat. Ketika cairan nano dari tubuh kita memperlihatkan keteraturan dan keindahan, itu menunjukkan bahwa tubuh kita memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan keteraturan dan harmoni", demikian pak Sutiman menjelaskan sambil mengepulkan asap rokoknya.
Dua tahun terakhir ini, rokok merupakan bagian yang sangat penting dalam klinik binaan bu Gretha dan kawan-kawan -yang sebelumnya tidak satupun yang perokok. Rokok yang dinamai Divine Klobot itu mengandung asam amino, diproses sedemikian rupa sehingga bebas dari radikal bebas, dan menghasilkan partikel yang berukuran jauh lebih kecil. "Dengan terapi asap, radikal bebas yang keluar dari tubuh akan berukuran kecil, sehingga pasien tidak perlu mengalami siksaan seperti luka-luka yang besar dan basah atau aroma tubuh yang sangat mengganggu", kata bu Gretha. Proses penyembuhan menjadi jauh lebih cepat, bahkan selama proses pengobatan pasien bisa tetap menjalani kehidupan normal tanpa diet khusus, asalkan ia bersedia secara teratur ….. merokok!
Sungguh sebuah paradoks yang mengesankan. Limbah ramuan balur bisa menjadi kristal yang bercerita, dan rokok yang sekarang sedang dihujat telah dimuliakan menjadi obat! "Tidak ada yang baru pada tembakau dan nikotin. Ratusan tahun yang lalu, bangsa Indian telah menggunakannya sebagai obat; mereka bahkan menamai tembakau sebagai tanaman dewa. Nikotin juga telah lama diteliti dan diakui mengandung banyak manfaat, bahkan ia dijuluki ‘gold nicotine’. Unsur kimianya yang berjumlah 11000 macam itu membuatnya sangat istimewa. Jika dilihat secara parsial, unsur-unsur kimia itu memperlihatkan ‘kejahatan’nya. Tapi jika partikel-partikel tersebut dilihat secara utuh, rokok memperlihatkan adanya potensi untuk menyelenggarakan keteraturan dan harmoni.
Rokok tidak membahayakan generasi terdahulu, juga tidak generasi sekarang. Yang berbahaya itu radikal bebasnya, dan radikal bebas ada dimana-mana", jelas pak Sutiman panjang lebar. Bu Gretha lalu menimpali: "Dengan menggunakan cetakan nano pada filter, densitas elektron meningkat, sehingga kandungan merkuri pada tembakau akan siap melepaskan elektron. Dan ketika merkuri kehilangan 1 elektron, ia bukan lagi merkuri. Ia merupakan partikel emas atau aurum, tepatnya artificial aurum." Saya jadi ingat sebuah artikel tentang partikel aurum. Dalam ukuran nano, ia sudah lama dikenal sebagai nanomaterial yang efektif membunuh sel kanker tanpa merusak sel lainnya.
Bu Gretha lalu menunjukkan selembar kertas yang ia katakan sebagai ‘penemuan yang sangat mengagumkan’, yaitu tabel periodik kimia, tabel ciptaan Mendeleyev yang pernah kita pelajari di SMA. Ia menjelaskan, bahwa merkuri dengan nomor atom 80 bisa dengan mudah ‘menyamar’ menjadi thalium dan timbal hanya dengan tambahan 1-2 elektron. Merkuri juga bisa berubah menjadi artificial aurum atau emas -yang bernomor atom 79- hanya dengan mendonasikan elektronnya … Pernyataan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pembuktian. Bersama teman-teman, saya menguji pengaruh Divine Klobot terhadap aura.
Dengan menggunakan aurameter milik bu Gretha, saya dan teman-teman menyaksikan, bahwa terapi asap lambat-laun akan membentuk aura berwarna emas di tubuh kita. "Sungguh terobosan yang hebat", kata Kang Aas Rukasa, seorang guru senam pernafasan dan meditasi. "Aura emas hanya mungkin diperoleh melalui latihan pernafasan yang intensif yang disertai pengerasan tubuh. Aura emas mencerminkan kematangan di chakra jantung, chakra yang berhubungan dengan kasih sayang, kelenturan, keterbukaan, dan respon seni", kata Kang Aas. "Aura emas merupakan jembatan tercepat antara tubuh dan pikiran; artinya seseorang dengan aura emas akan memiliki kecerdasan tubuh dalam menerjemahkan dimensi pikiran. Aura emas bukan hanya mencerminkan kesehatan yang prima dan kelenturan tubuh dalam menghadapi gangguan, aura emas ini juga berbicara tentang potensi untuk menyembuhkan orang lain", demikian ia menambahkan.
Saya jadi teringat kisah-kisah klasik tentang para alkemis yang selalu terobsesi untuk mengubah apapun menjadi emas. Tidak disangka bahwa rahasia alchemy itu tak jauh-jauh dari kita, dan tampaknya tidak terlalu sulit bagi kita untuk mempelajarinya. Siapa tahu kita bisa menjadi the alchemy berikutnya?
Dasar-dasar bagi tumbuhnya future science itu telah disiapkan oleh bu Gretha dan kawan-kawan. Ini adalah sains multidisiplin yang tak hanya yang holistik, tapi juga unik, karena membawa dan mewujudkan mimpi terdalam umat manusia sejak masa klasik. Saya dan teman-teman tidak henti-hentinya kagum melihat seorang ilmuwan yang sekaligus ‘tabib’, seorang yang sesaat berbicara tentang ilmu-ilmu canggih dalam bahasa campuran Indonesia dan Inggris, lalu ia membalur dan meniupi pasien dengan bertelanjang kaki, tanpa sarung tangan dan penutup hidung. Di waktu pagi, senja dan tengah malam, ‘tabib’ ini menyempatkan dirinya membalur diri dengan kopi, ramuan kelapa dan putih telur, atau garam.
Di waktu senggangnya ia hanya memerlukan lantai untuk sekedar membaringkan tubuhnya, sambil meniupkan asap Divine Klobot ke dalam telinganya. "Lantai baik untuk kesehatan, karena Bumi menetralisir kelebihan arus listrik yang menyebabkan adanya ritme tidak harmonis di tubuh kita. Garam bagus untuk menangkap radikal bebas yang ada di tubuh kita. Pengobatan terbaik adalah menggunakan tangan telanjang, bukan tangan bersarung, apalagi mesin, karena… tahukah engkau, bahwa tubuh manusia adalah cetakan nano terhebat di dunia?", begitu katanya sambil tersenyum, seolah membenarkan ritual para tabib tradisional kita yang sudah lama menggunakan garam, telur, tangan telanjang, juga lantai dalam praktek pengobatan mereka. Sungguh sangat sesuai dengan namanya: Gretha artinya mutiara, Zahar itu brightness, revealed, grounded.
"Ibu kok seperti penyihir, ya…"
"Atau seperti Merlin…"
"Atau Nostradamus, Leonardo da Vinci…"
Begitu komentar teman-teman setiap berjumpa dengan ibu Gretha Zahar yang tak habis-habisnya mengherankan kami.
Sumber : Tuty Yosenda, www.balur.com
Hebatnya, merkuri punya energi dinamika yang cukup besar untuk membantunya melakukan transisi elektron, sebuah cara baginya untuk ‘menyamar’ menjadi partikel lain", katanya sambil meluruskan kakinya di lantai. Sekarang menjadi jelas mengapa selama ini berbagai penelitian belum bisa ‘menangkap basah’ merkuri dan perilakunya di tubuh kita. "Merkuri hanya perlu tambahan 1 elektron untuk menjadi logam berat seperti thalium, atau 2 ekstra elektron untuk menjadi timbal. Padahal elektron-elektron itu tersedia dalam jumlah besar di Alam sebagai akibat dari melimpahnya jumlah radikal bebas ", tambahnya lagi.
"Jadi penyembuhan segala macam penyakit pada dasarnya hanyalah memperbaiki kemampuan tubuh dalam mengendalikan polutan. Detoksifikasi adalah yang paling relevan. Jika kita tahu caranya, tak ada penyakit yang perlu ditakuti, termasuk flu burung, flu babi dan sebagainya", kata bu Gretha. Ia lalu memamerkan foto-foto klinis dan eksperimennya yang sangat menakjubkan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Kanker dan autisme merupakan persoalan sederhana di matanya, apalagi penyakit stroke, jantung dan sebagainya.
Bu Gretha dan klinik-kliniknya telah membantu ratusan orang yang sudah tidak bisa ditangani oleh rumah sakit. Namun gaya hidupnya sangat bersahaja. Tempat duduk favoritnya adalah lantai, kosmetiknya hanyalah ramuan yang terbuat dari putih telur dan air kelapa. Tanda-tanda kemewahan ‘hanya’ terlihat pada matanya yang selalu polos namun energik, tubuh yang elastis, berotot, bugar, serta kulit wajah yang bersih. Tidurnya sedikit, namun ia masih mampu push-up 25 kali dan berenang 90 menit tanpa jeda di usianya yang menjelang 70. (Kami sering menggodanya dengan sebutan ‘nenek-nenek aneh’, karena bukannya membekali diri dengan minyak angin dan syal penghangat seperti nenek pada umumnya, ia malah membawa rokok dan berbagai ramuan kemana-mana untuk mengurus siapapun yang dijumpainya di jalan dan sedang bermasalah ! J)
Restless and fearless, itulah yang saya lihat pada bu Gretha. Dalam pencariannya yang tak kenal menyerah, ia sempat mengalami berbagai hinaan dan pengusiran oleh ilmuwan-ilmuwan lain. Namun dengan gigih ia terus berjuang, salah satunya dengan mencoba membuktikan hipotesanya lewat pengabdian di sebuah rumah sakit swasta dan beberapa panti asuhan. Dukungan dari kalangan universitas dan dari kalangan medis akhirnya mengalir. Tapi ia belum puas juga. "Alam sedang sedih karena banyak dimanipulasi oleh manusia", katanya suatu hari, dengan nada sedih yang tak berhasil disembunyikan. "Kita mengambil terlalu banyak dari Alam, ini menyulitkan Alam dalam melakukan recycling terhadap beratus-ratus ton radikal bebas yang berkeliaran di sekitar kita.
Sementara itu hutan dan lautan yang menjadi mesin pendaur-ulang utama itu mengalami kerusakan yang amat parah," katanya lagi. Pak Sutiman lalu menambahkan: "Alam sekarang mengalami kesulitan dalam melakukan siklus berbagai material. Manusia sebagai bagian dari Alam pun mengalaminya." Lalu, setelah menyalakan rokok yang entah ke sekian, pak Sutiman -yang sebelumnya sama sekali bukan perokok itu- melanjutkan:"Kerusakan Alam kini menempatkan manusia pada posisi degeneratif, artinya manusia menghadapi ancaman kegagalan dalam menjalankan kemampuan normal. Itu sebabnya penyakit manusia bergeser ke arah difficult diseases."
Tapi bu Gretha tidak pernah membiarkan dirinya sedih berlama-lama. Intuisinya yang liar dan tajam membuatnya segera sibuk memikirkan gagasan-gagasan baru. Alur pikirannya melompat-lompat dengan lincah, tak banyak orang yang memiliki kemampuan untuk mengimbanginya. Ketika pak Sutiman pada suatu kesempatan resmi menguraikan pemikiran bu Gretha dalam bahasa yang lebih runut, bu Gretha tercengang-cengang sendiri: "Benarkah itu hasil pemikiranku? Aku tidak mengira akan seindah itu…", katanya dengan ekspresi yang lucu.
Keindahan itu juga terlihat dalam proses pengobatan ala bu Gretha. Sebelumnya, dalam sebuah eksperimen, bu Gretha mencoba melepaskan radikal bebas dari sebuah protein buatan. Radikal bebas itu baru terlepas sesudah dihantam dengan beban sebesar … 8 ton ! Namun ketika protein yang mengandung radikal bebas itu ditepuknya dengan ‘mengaktifkan rasa kasih-sayang’, radikal bebas itupun terlepas. Artinya, beban 8 ton itu kurang lebih setara dengan tepukan penuh kasih-sayang ! Itu sebabnya pelayanan penuh kasih-sayang menjadi bagian yang paling penting dalam terapi yang dikembangkannya.
Itu sebabnya pula, di papan tembaga, pasien anak-anak dibaringkan di atas tubuh ayah atau ibunya, agar terjadi ikatan batin yang lebih dalam di antara keduanya. Ikatan kasih-sayang ini sangat berguna untuk mendorong kesembuhan. Dalam klinik-klinik asuhan bu Gretha dan kawan-kawan selalu ditekankan pentingnya partisipasi keluarga dalam proses penyembuhan. Kesembuhan seorang pasien dipengaruhi oleh kesehatan anggota keluarganya. "Bahkan menyehatkan diri sendiri itu sama dengan menyehatkan lingkungan", demikian kata pak Sutiman.
Keindahan yang lain juga diperlihatkan di akhir terapi. Berbagai ramuan yang sudah dibalurkan ke tubuh pasien itu ditampung, sebagian dibiarkan tersisa di papan tembaga, sebagian diteteskan pada cawan petri. Hasilnya sungguh menakjubkan! Hanya beberapa menit dijemur di bawah matahari, kita akan segera melihat kristal yang bisa mengisahkan ’siapa kita’. Jika Anda sehat, pada papan tembaga maupun cawan petri itu akan terlihat lukisan kristal yang penuh, simetris, fraktal, dan memiliki pola yang sangat indah. "Tubuh manusia itu merupakan pabrik nano material yang paling hebat. Ketika cairan nano dari tubuh kita memperlihatkan keteraturan dan keindahan, itu menunjukkan bahwa tubuh kita memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan keteraturan dan harmoni", demikian pak Sutiman menjelaskan sambil mengepulkan asap rokoknya.
Dua tahun terakhir ini, rokok merupakan bagian yang sangat penting dalam klinik binaan bu Gretha dan kawan-kawan -yang sebelumnya tidak satupun yang perokok. Rokok yang dinamai Divine Klobot itu mengandung asam amino, diproses sedemikian rupa sehingga bebas dari radikal bebas, dan menghasilkan partikel yang berukuran jauh lebih kecil. "Dengan terapi asap, radikal bebas yang keluar dari tubuh akan berukuran kecil, sehingga pasien tidak perlu mengalami siksaan seperti luka-luka yang besar dan basah atau aroma tubuh yang sangat mengganggu", kata bu Gretha. Proses penyembuhan menjadi jauh lebih cepat, bahkan selama proses pengobatan pasien bisa tetap menjalani kehidupan normal tanpa diet khusus, asalkan ia bersedia secara teratur ….. merokok!
Sungguh sebuah paradoks yang mengesankan. Limbah ramuan balur bisa menjadi kristal yang bercerita, dan rokok yang sekarang sedang dihujat telah dimuliakan menjadi obat! "Tidak ada yang baru pada tembakau dan nikotin. Ratusan tahun yang lalu, bangsa Indian telah menggunakannya sebagai obat; mereka bahkan menamai tembakau sebagai tanaman dewa. Nikotin juga telah lama diteliti dan diakui mengandung banyak manfaat, bahkan ia dijuluki ‘gold nicotine’. Unsur kimianya yang berjumlah 11000 macam itu membuatnya sangat istimewa. Jika dilihat secara parsial, unsur-unsur kimia itu memperlihatkan ‘kejahatan’nya. Tapi jika partikel-partikel tersebut dilihat secara utuh, rokok memperlihatkan adanya potensi untuk menyelenggarakan keteraturan dan harmoni.
Rokok tidak membahayakan generasi terdahulu, juga tidak generasi sekarang. Yang berbahaya itu radikal bebasnya, dan radikal bebas ada dimana-mana", jelas pak Sutiman panjang lebar. Bu Gretha lalu menimpali: "Dengan menggunakan cetakan nano pada filter, densitas elektron meningkat, sehingga kandungan merkuri pada tembakau akan siap melepaskan elektron. Dan ketika merkuri kehilangan 1 elektron, ia bukan lagi merkuri. Ia merupakan partikel emas atau aurum, tepatnya artificial aurum." Saya jadi ingat sebuah artikel tentang partikel aurum. Dalam ukuran nano, ia sudah lama dikenal sebagai nanomaterial yang efektif membunuh sel kanker tanpa merusak sel lainnya.
Bu Gretha lalu menunjukkan selembar kertas yang ia katakan sebagai ‘penemuan yang sangat mengagumkan’, yaitu tabel periodik kimia, tabel ciptaan Mendeleyev yang pernah kita pelajari di SMA. Ia menjelaskan, bahwa merkuri dengan nomor atom 80 bisa dengan mudah ‘menyamar’ menjadi thalium dan timbal hanya dengan tambahan 1-2 elektron. Merkuri juga bisa berubah menjadi artificial aurum atau emas -yang bernomor atom 79- hanya dengan mendonasikan elektronnya … Pernyataan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pembuktian. Bersama teman-teman, saya menguji pengaruh Divine Klobot terhadap aura.
Dengan menggunakan aurameter milik bu Gretha, saya dan teman-teman menyaksikan, bahwa terapi asap lambat-laun akan membentuk aura berwarna emas di tubuh kita. "Sungguh terobosan yang hebat", kata Kang Aas Rukasa, seorang guru senam pernafasan dan meditasi. "Aura emas hanya mungkin diperoleh melalui latihan pernafasan yang intensif yang disertai pengerasan tubuh. Aura emas mencerminkan kematangan di chakra jantung, chakra yang berhubungan dengan kasih sayang, kelenturan, keterbukaan, dan respon seni", kata Kang Aas. "Aura emas merupakan jembatan tercepat antara tubuh dan pikiran; artinya seseorang dengan aura emas akan memiliki kecerdasan tubuh dalam menerjemahkan dimensi pikiran. Aura emas bukan hanya mencerminkan kesehatan yang prima dan kelenturan tubuh dalam menghadapi gangguan, aura emas ini juga berbicara tentang potensi untuk menyembuhkan orang lain", demikian ia menambahkan.
Saya jadi teringat kisah-kisah klasik tentang para alkemis yang selalu terobsesi untuk mengubah apapun menjadi emas. Tidak disangka bahwa rahasia alchemy itu tak jauh-jauh dari kita, dan tampaknya tidak terlalu sulit bagi kita untuk mempelajarinya. Siapa tahu kita bisa menjadi the alchemy berikutnya?
Dasar-dasar bagi tumbuhnya future science itu telah disiapkan oleh bu Gretha dan kawan-kawan. Ini adalah sains multidisiplin yang tak hanya yang holistik, tapi juga unik, karena membawa dan mewujudkan mimpi terdalam umat manusia sejak masa klasik. Saya dan teman-teman tidak henti-hentinya kagum melihat seorang ilmuwan yang sekaligus ‘tabib’, seorang yang sesaat berbicara tentang ilmu-ilmu canggih dalam bahasa campuran Indonesia dan Inggris, lalu ia membalur dan meniupi pasien dengan bertelanjang kaki, tanpa sarung tangan dan penutup hidung. Di waktu pagi, senja dan tengah malam, ‘tabib’ ini menyempatkan dirinya membalur diri dengan kopi, ramuan kelapa dan putih telur, atau garam.
Di waktu senggangnya ia hanya memerlukan lantai untuk sekedar membaringkan tubuhnya, sambil meniupkan asap Divine Klobot ke dalam telinganya. "Lantai baik untuk kesehatan, karena Bumi menetralisir kelebihan arus listrik yang menyebabkan adanya ritme tidak harmonis di tubuh kita. Garam bagus untuk menangkap radikal bebas yang ada di tubuh kita. Pengobatan terbaik adalah menggunakan tangan telanjang, bukan tangan bersarung, apalagi mesin, karena… tahukah engkau, bahwa tubuh manusia adalah cetakan nano terhebat di dunia?", begitu katanya sambil tersenyum, seolah membenarkan ritual para tabib tradisional kita yang sudah lama menggunakan garam, telur, tangan telanjang, juga lantai dalam praktek pengobatan mereka. Sungguh sangat sesuai dengan namanya: Gretha artinya mutiara, Zahar itu brightness, revealed, grounded.
"Ibu kok seperti penyihir, ya…"
"Atau seperti Merlin…"
"Atau Nostradamus, Leonardo da Vinci…"
Begitu komentar teman-teman setiap berjumpa dengan ibu Gretha Zahar yang tak habis-habisnya mengherankan kami.
Sumber : Tuty Yosenda, www.balur.com
Wellness Tourism: Mencoba Metode Balur di Sukorejo
Oleh Nurdiyansah
Dari Jakarta, saya terbang menuju
Semarang. Tujuan perjalanan kali ini adalah Sukorejo. Masih perlu
sekitar 2 jam perjalanan bagi saya dan beberapa kawan untuk bisa sampai
di kawasan Alun-alun Sukorejo atau yang akrab disebut Bunderan (karena
bentuk jalan yang melingkar). Dua jam tersebut saya nikmati dengan
melihat pemandangan dataran tinggi Jawa Tengah yang dihiasi dengan
perbukitan serta perkebunan yang begitu rindang dan hijau. Ketika udara
mulai terasa sejuk dan agak dingin, kami pun menyadari bahwa destinasi
yang kami tuju, semakin dekat dan tidak lama lagi.

Di Sukorejo, kami hendak mengunjungi Dr.
Gretha Zahar, seorang ilmuwan yang juga adalah praktisi klinis dan
radiation chemist yang telah berhasil mengembangkan metode Balur (www.balur.com)
dan berbagai penemuan lainnya terkait proses peluruhan radikal bebas
(logam) dari dalam tubuh. Metode Balur sendiri adalah suatu proses
detoksifikasi pembaluran kulit untuk mengangkat racun, merkuri, dan
logam berbahaya lainnya yang mengendap di dalam tubuh melalui proses
khelasi, yaitu pemutusan radikal bebas dan logam amalgam yang terikat di
asam amino aromatis dan struktur DNA. Mungkin terdengar sulit untuk
dipahami. Tetapi terapi spa Balur ini bukanlah hal baru bagi masyarakat
kita karena merupakan tradisi penyembuhan yang telah dilakukan oleh
nenek moyang kita. Selain Balur, ada juga Divine Cigarette (www.divinecigarette.com) atau dikenal dengan klobot, yaitu rokok tembakau dan cengkeh murni dengan ramuan khusus Divine yang telah di-nano (nano technology).

Entah mengapa, tiba-tiba jantung saya
jadi berdegup kencang dan malah merasa takut dibalur. Cerita dari banyak
kawan yang telah mencoba Balur, memang terdengar mengerikan. Namun,
kisah sukses mereka menjadi magnet bagi saya dan kawan lain untuk sehat.
Di sana, kebetulan sekali saya berkenalan dengan Ala, perempuan
berdarah Kaukasoid ini tinggal di Tangerang. Ia adalah salah satu pasien
dan kawan Bu Gretha yang mengidap kanker lever. Sebelumnya, dokter
telah memvonis umurnya hanya tinggal 4 bulan, tapi setelah mengikuti
terapi Balur, pada usia 60-an Ala sudah dinyatakan sembuh dan tampak
begitu sehat.

Esoknya, tanpa basa-basi, Bu Gretha
memanggil asistennya, Mas Aziz, untuk menyiapkan tempat membalur saya.
Meski masih agak takut, tak mungkin juga saya menolak.
Saya pun melepas seluruh pakaian dan berbaring di atas dipan tembaga. Ruang Balur outdoor
tanpa atap ini terlihat begitu nyaman. Dengan pagar bambu sebagai
partisi, sekeliling area Balur ini dikelilingi dengan berbagai tanaman
serta bunga yang tampak subur.
Sebelum dibalur, saya diharuskan untuk mengasapi beberapa cairan, salah satunya kopi Balur, dengan Divine Cigarette.
Proses Balur membutuhkan waktu sekitar
satu jam. Awalnya, tubuh akan dilumuri dengan beberapa cairan khusus,
kemudian dipijat-pijat. Sangat enak dan rileks. Tapi tak lama kemudian,
Mas Aziz mulai menghantamkan tangannya memukul seluruh tubuh, mulai dari
kaki hingga kepala. Tentu saja seketika badan saya terasa sangat sakit
dan perih. Tidak ada ekspresi dan respon lain selain menjerit, dan
mengaduh, berusaha menahan nyeri.
Meski terkesan begitu menyakitkan,
anehnya rasa sakit sehabis dipukul tidak bertahan lama dan berbekas.
Sekitar 10 menit setelah tuntas dibalur, saya pun langsung buang air dan
muntah-muntah. Selain keluar dari pori-pori kulit, racun akan keluar
melalui mulut dan feses. Sesudahnya, badan terasa begitu ringan dan
enteng.
Selama 4 hari di rumah Ibu Gretha, saya dibalur sebanyak 2 kali, plus
terapi totok yang dilakukan Mas Sidiq. Sebetulnya bukan totok, tetapi
hanya dipegang-pegang dengan jari tangan, tentu saja, menggunakan tenaga
dalam. Rasanya bukan main sakitnya, seolah tubuh ditusuk-tusuk dengan
pisau.
Di antara rasa sakit untuk bisa sehat,
hiburan saya selama di Sukorejo adalah menikmati pesona alamnya yang
sejuk dan indah. Dari lantai dua kediaman Bu Gretha, saya bisa
menyaksikan indahnya panorama pegunungan pada pagi dan sore hari. Selain
alam, makanan di Sukorejo juga tak kalah enaknya. Mungkin ini
dikarenakan oleh bahan-bahan masakan yang alami dan segar.
Perjalanan pulang dari Sukorejo menjadi
berbeda buat saya. Selain belajar banyak hal dari obrolan dengan Bu
Gretha mengenai apa pun, saya juga merasakan memiliki jiwa dan raga yang
lebih sehat dari sebelumnya.
Membelah perbukitan, kebun cengkeh,
karet, persawahan, dan hutan jati, Sukorejo memang menjadi tempat yang
paling cocok untuk mereka yang mencari atmosfir berbeda dari hiruk-pikuk
kota Jakarta. Tidak hanya memberikan ketenangan, tetapi juga pesona
alam dan wisata kuliner.
Selain di Sukorejo, Rumah Balur juga terdapat di Malang, Kudus dan Jakarta.
Berapa biaya nya kira-kira untuk terapi balur ini?
BalasHapusAlamat lengkapnya dimana?
BalasHapusNo kontak yg bs dihub?
kalo di Malang, di Jl. Surakarta no. 5 Malang
BalasHapuspintu gerbang Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Negeri Malang)
Kalo mau beli tembakaunya kira2 dimana,no yang bisa di hub, kalo mau daftar jadi member bagaimana?
BalasHapusbisa beli di jl otista 3, jaktim
BalasHapusKlu di yogya dimana ya?
BalasHapus